Murottal sudah terdengar dari masjid dekat rumah kami
Kota yang seharian penuh hingar-bingar mendadak syahdu
Ketika senja bersolek dengan pupur warna oranye
Yang terlihat begitu menawan
Bangkit dari ufuk barat
Mengantar pulang para pencari uang
Ke peraduannya masing-masing
Layang-layang harus diturunkan
Melewati semrawutnya kabel perkotaan
Sepak bola harus segera dihentikan
Bergegas pulang ke rumah dan bersiap pergi mengaji
Betapa manisnya untaian kenangan yang terajut rapi dalam memori
Rumah di sebelah kanan itu adalah tempat kami tinggal dulu
Bukan kompleks rumah mewah dengan pohon palem di sepanjang jalan
Hanya rumah petak berukuran sembilan meter persegi
Yang selalu dibayangi wacana pemutihan
Demi kepentingan keindahan kota
Sudah hampir tiga dekade
Surabaya masih menjadi tempat yang nyaman untuk singgah
Bahkan untuk pulang
Bukan karena gemerlapnya lampu metropolitan
Namun karena cerita yang menolak untuk dilupakan
Di kota ini Aku pernah menyabung nyawa
Ketika tubuh yang masih ranum
Tergolek di atas bongkahan es batu
Tawar-menawar dengan malaikat maut
Diiringi doa para suster
Menanti dengan cemas selama empat puluh hari
Sebelum akhirnya Aku terlahir kembali
Begitulah setidaknya cerita yang sering kudengar
Dari orang-orang
Yang tak pernah lelah mendoakan keselamatanku
Akhir-akhir ini renjana rindu begitu menyesakkan dada
Ingin rasanya berkubang dalam genangan kenangan
Mengais sisa memoar yang terserak
Jarak bukanlah soal
Demi kerinduan yang menggebu-gebu
Kulahap ratusan kilometer dalam semalam
Bak nabi yang menjalankan Isra’
Di hadapan sepasang kopi panas
Kubuka sekoper cerita
Berkeluh betapa payahnya kita berpeluh
Tidak untuk memperdebatkan
Susu mana yang paling manis
Atau kopi siapa yang paling pahit?
Namun sekadar mencari pengajaran
bagaimana menikmati setiap kepahitan